Terorisme, Islam-lah Kambing Hitamnya
Di era kontemporer kini, Islam kerap dijadikan sebagai kambing hitam atas segala problem kemanusiaan yang mengemuka. Segala keburukan sosial yang terjadi, dicap berasal dari Islam. Konservatisme, radikalisme, revivalisme, ekstremisme, hingga terorisme, distigmakan sebagai kekeliruan Islam.
Tentu hal ini sangat menyesatkan. Islam, sama sekali tidak mengajarkan kejahatan. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang menyarankan untuk melakukan tindak dehumanistik. Kendati demikian, orang Islamlah yang mampu melakukan itu semua. Tentu saja dengan berbagai motif yang mengiringinya.
Masih belum lama ini, penembakan brutal yang terjadi di Paris, Prancis, mengatasnamakan Islam. Di tanah ibu pertiwi ini pun, atas pengeboman yang terjadi di Jl. Thamrin, Jakarta, juga mengatasnamakan Islam. Jaringan teroris “Santoso” yang mulai menyebar di seantero Jawa, juga mengatasnamakan Islam. Terbaru, kasus penyerangan gereja St. Lidwina di Yogyakarta, Islam juga yang "kena".
Pada saat di dunia Barat Islam mulai dihakimi oleh masyarakat yang antipati, di negara kita, segelintir oknum tidak bertanggungjawab mengobarkan kebencian, kerusakan dan kebengisan, atas nama Islam. Dalam konteks ini, posisi anti-Islam dan pro-Islam, sama-sama berdiri di atas pijakan ekstremitas yang memuakkan.
Sementara itu, kampanye Islam damai untuk merehabilitasi nama baik agama tersebut, malah dihujat sana-sini oleh kaum Islamis, dan kelompok lainnya yang tidak sependapat. Tatkala Nahdlatul ‘Ulama’ mempromosikan Islam Nusantara, banyak kaum Muslim yang berseberangan haluan pemikiran, mengecamnya. Di saat yang sama, Muhammadiyah yang berkampanye mengenai pentingnya Islam Berkemajuan, justru dicaci-maki dan dianggap Islamnya tidak otentik.
MENDIAGNOSA PENGAMBINGHITAMAN
Sebenarnya telah nyata, bahwa ada agenda di balik segala pengambinghitaman Islam. Islam diposisikan sebagai hal yang berdiri secara diametral bertentangan dengan kepentingan Eropa dan Amerika Serikat. Tidak sedikit pula yang menyebut bahwa, Islam adalah antitesis dari ideologi pasar berbagai korporasi internasional yang menguasai bumi ini.
Jauh sebelum Samuel Huntington menerbitkan teori Clash of Civilization (1996), Roger Garaudy menerbitkan Les Promesses de l’islam (1983). Buku itu mengungkap seluruh kekejian bangsa Barat yang memojokkan Islam. Motif dan kepentingan keserakahan akan kapital, menjadi basis utama hasrat pembunuhan yang luar biasa. Pengakuan mantan bandit kapitalis Amerika, John Perkins dalam Confessions of Economic Hitman (2004) menyebut bahwa, tujuan invasi militer Amerika Serikat ke Timur Tengah, dilatarbelakangi oleh motif akumulasi profit dari penjualan senjata. Sungguh mengerikan.
Apakah Amerika dan Eropa tidak cukup kaya dan sejahtera, sehingga harus mengedepankan operasi pembasmian kemanusiaan yang keji di Timur Tengah, Afrika dan Asia? Ternyata bukan untuk penyejahteraan rakyat jawabannya. Tetapi, untuk memberikan akses eksploitasi kehidupan sebanyak-banyaknya bagi perusahaan yang menghamba kepada ekonomisme.
Oleh karena itulah, maka Islam dipaksa menjadi keseluruhan representasi dari Timur, khususnya Timur Tengah. Padahal di Timur, jelas ada banyak bangsa dan peradaban, yang tidak semuanya Islam atau Muslim. Yang menarik, seluruh kelompok yang sentimentil terhadap Barat, termasuk di antaranya adalah Islam garis keras, ternyata juga mendapatkan dukungan rahasia dari berbagai perusahaan multinasional melalui operasi inteligensia.
Menurut Robert Dreyfuss, dalam karya akademik yang bertajuk Devil’s Game: How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam (2007), disebutkan bahwa ekstremisme Islam yang mengarah kepada aksi teror, ternyata memang sengaja diciptakan. Penyelewengan tafsir akan Islam, bukanlah masalah ideologi. Namun, salah satu instrumen untuk mempropagandakan kekerasan, kekejaman, kebencian dan segala tindak laku anti kemanusiaan.
Kasus popularnya peristiwa Arab Spring, bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Menurut intelektual Tariq Ramadan, dalam bukunya The Arab Awakening: Islam and the New Middle East (2012), sangat mustahil kiranya, sebegitu polos dan tribalnya masyarakat Islam di Timur Tengah, sehingga menghendaki kericuhan politik yang dahsyat dan krisis kemanusiaan yang sangat besar. Dengan dalih demokratisasi, negara-negara Arab bersepakat untuk merayakan kehancuran. Sungguh merupakan hal yang mustahil.
Pola yang sama juga terjadi melalui modus operasi yang berbeda di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Konflik demi konflik dan teror atas nama agama merebak di mana-mana. Ternyata, merujuk kepada pidato Les Levidow, seorang sarjana dan aktivis kemanusiaan dari The Open University Inggris, yang bertajuk Terrorising Dissent: The Neoliberal ‘Anti-Terrorist’ Strategy (2002), hal itu juga merupakan proyek garapan operasi inteligensia yang diperbudak oleh perusahaan asing yang bengis.
Keterkaitan langsung dalam berbagai persoalan yang ada ini, memang sangatlah kompleks. Tetapi yang jelas, moda ekonomi telah memainkan peran penting dalam menciptakan cheos di seluruh pelosok negeri. Bukan hanya itu, ideologi keagamaan diarahkan sebagai alibi yang melegitimasi seluruh tindak kejahatan sistem dan struktur ekonomi tersebut. Jika kita tetap membenarkan ekstremisme Islam, jelaslah bahwa ini merupakan sarapan gratis bagi mereka kaum kapitalis.
REHABILITASI CITRA ISLAM
Langkah yang paling strategis untuk menghapus segala jenis citra buruk terhadap Islam adalah dengan merehabilitasinya. Dengan kata lain, kita perlu memulihkan seluruh nama baiknya. Islam memang sudah baik, luhur, agung dan suci. Namun, pengertiannya di hamparan konstalasi wacana sosial dan politik, harus diperjuangkan agar benar-benar dipahami sebagai agama yang nir-kekerasan dan humanis.
Terdapat beberapa langkah yang bisa diupayakan oleh setiap Muslim, yakni: Pertama, setiap Muslim dan berbagai organisasi Islam harus meyakini dan mengkampanyekan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, memihak kemanusiaan dan pro keadilan sosial. Dengan demikian, tafsir, ideologi dan wacana yang bertolak belakang dengan itu semua, harus dibongkar perwujudannya, sehingga tampak di mana letak kekeliruannya.
Kedua, di negeri ini, baik NU maupun Muhammadiyah, berkomitmen secara tulus untuk memperjuangkan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, baik melalui jalan terminologis Islam Nusantara maupun Islam Berkemajuan. Kedua kredo luhur tersebut, sebisa mungkin dihindarkan dari segala jenis perilaku kerdil, ashabiyyah, nativisme dan obskurantisme. Dengan kata lain, konsep-konsep tersebut tidak boleh dijadikan sebagai bahan politisasi, komodifikasi, terlebih kapitalisasi untuk kepentingan remeh-temeh yang murahan.
Ketiga, berbagai pihak di negeri ini, khususnya pemerintah dan badan pemerintahan seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia dan Badan Intelijen Negara, harus berani mengungkap segala proses tipu muslihat proyek kapitalis yang merugikan Islam. Pembongkaran kejahatan sistemik tersebut, harus benar-benar diungkap secara jujur dan gamblang di hadapan publik.
Demikianlah, sedikit ikhtiar intelektual mengenai pentingnya mengakhiri pengambinghitaman Islam sebagai biang kerok krisis kemanusiaan di bumi pertiwi ini. Sebagai Muslim yang baik, kita harus berani tampil ke depan dan berbicara lantang bahwa, agama kita adalah agama yang suci, yang tidak boleh terkotori oleh niat dan perilaku jahat sistem kapitalisme. Ingatlah bahwa, Al-Qur’an mengajarkan, “…kapital itu hendaknya tidak didominasi, dihegemoni, dan dikuasai oleh kaum kapitalis belaka” (kayla yakuna dullatan baina al-aghniya’i minkum). (*)
*) Dinukil dari tulisan Hasnan Bachtiar, mahasiswa pascasarjana di Australian National University (ANU), Ketua Umum Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) IMM Australia, serta peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM di Portal Suara Muhammadiyah.
Comments
Post a Comment