Menjalin Ukhuwah dan Menyikapi Perbedaan
Kata akh sebagai bentuk dasar dari kata ukhuwah dalam beberapa kamus bahasa sering diartikan sebagai teman akrab atau sahabat maupun saudara. Dalam al-Qur’an sendiri ditemukan 52 kali disebutkan kata akh dalam bentuk tunggal dimana sebagian diantaranya dalam arti saudara kandung dan sebagian lainnya dalam arti saudara sebangsa (meskipun tidak seagama), missal pada firman Allah SWT berikut :
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. al-A'Raaf (7) : 65)
Sedangkan dalam bentuk jamaknya, kata akha dalam al Qur’an terklasifikasikan dalam dua macam. Pertama adalah ikhwan, yang digunakan untuk persaudaraan yang tidak sekandung. Kata ini ditemukan lebih banyak daripada kata akh dalam bentuk tunggal, yakni sebanyak 72 kali, sebagian digandengkan dengan al-din, seperti dalam surah at-Taubah : 11 maupun sebagian lainnya yang tidak digandengkan dengan kata al-din, missal pada surah al-Baqarah : 220
Bentuk kedua dari akha, adalah ikhwah yang terdapat dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 7 kali dan kesemuanya adalah digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan (kecuali satu ayat, yakni dalam surah al-Hujurat : 10).
Yang kemudian cukup menarik adalah mengapa al-Qu’ran, ketika berbicara tentang ukhuwah islamiyah menggunakan kata ikhwah yang selalu digunakan untuk arti persaudaraan seketurunan dan tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini (ikhwan) digunakan untuk makna persaudaraan yang bukan seketurunan. Bukankah lebih tepat menggunakan kata ikhwan jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman dan se-islam terdiri dari berbagai etnis, suku, bangsa, dan budaya? Mereka pun bukanlah satu keturunan?
Hal tersebut (penggunaan kata ikhwah dan bukan ikhwan) sejatinya bermaksud mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antar sesama muslim. Seakan-akan hubungan tersebut dijalin bukan saja oleh keimanan mereka dalam islam, tetapi ia seakan terjalin pula oleh rasa persaudaraan seketurunan. Sehingga tidak ada satu alasan untuk meretakkan hubungan antar sesama.
Macam Ukhuwah
Merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, setidaknya kita temui klasifikasi ukhuwah dapat tercermin dalam 4 hal, yaitu :
1. Ukhuwah fi al-Ubudiyyah, bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki persamaan. “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada dibumi, dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga” (QS. al-An’am (6) : 38). Persamaan ini antara lain, dalam hal penciptaan dan ketundukan kepada Allah SWT (QS. al-Baqarah (2) : 28).
2. Ukhuwah fi al-insaniyah, bahwa seluruh manusia adalah saudara, karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu. “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. (QS. al-Hujurat (49) : 12). Semua manusia tanpa melihat agama adalah bersaudara, sehingga tidak salah jika dalam berbagai problematika sosial, semua manusia harus saling bantu, saling menghargai, saling menghormati, dsb. “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu” (QS. an-Nisa’ (4) : 86).
3. Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, yakni persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan dalam al-Qur'an, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya” (Qs. al-A’raaf (7) : 65).
4. Ukhuwah fi ad-Din al-Islam, persaudaraan sesama muslim sebagaimana bunyi surah al-Ahzab : 5 maupun dalam sabda Rasulullah SAW (Quraish Shihab, 1994 : 358) yang berbunyi, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat) ku”.
Ukhuwah Islamiyah
Menurut Hasan Al-Banna, ukhuwah Islamiyah (ukhuwah fi ad-Din al-Islam) adalah keterikatan hati atau jiwa antara seorang hamba (manusia) dengan yang lain dalam satu ikatan aqidah, sehingga antara seorang muslim dengan muslim yang lain saling mencintai, menolong, dan mendoakan dalam kebaikan.
Bagi setiap muslim, seharusnya memahami bahwa tidak ada seorang manusia pun yang lolos dari kekurangan dan kesalahan sehingga harusnya mereka bisa saling menjaga kerukunan, bisa bersatu baik dalam duka maupun suka, serta bisa menyelesaikan setiap permasalahan dengan penuh kasih-sayang dan saling menghargai perbedaan pendapat yang muncul.
Beralih pada diri kita masing-masing. Masihkah kita bermusuhan? Masihkah kita saling membenci? Masihkah kita saling mencela? Masihkah kita saling fitnah dan ghibah? Jika masih ada setitik keimanan didalam hati, maka mari merenungkan perintah Allah SWT dalam surat Al Hujurat (49) : 10-13. Karena sebagian besar kandungan dalam surah Al Hujurat adalah berkaitan dengan sifat persaudaraan dalam islam atau Ukhuwah Islamiyah.
"Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan panggilan yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. al-Hujurat : 10-13).
Masihkah kita mengaku orang beriman? Patut kita merefleksikannya pada diri kita dan menanyakannya dalam relung hati kita, kemana keimanan kita ketika Allah SWT menegur kita dengan ayat-ayat persaudaraan dalam islam sedangkan diantara kita masih terlampau sering bergesekan dan saling bermusuhan.
Hikmah dan Manfaat Ukhuwah Islamiyah
Ada beberapa hikmah yang harus kita ambil pelajaran untuk menjalin ukhuwah islamiyah dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga Allah SWT senantiasa menurunkan berkah di dunia ini antara lain :
1. Terciptanya solidaritas yang kuat antara sesama muslim. Dengan adanya saling “tepa selira”, merasakan kebahagiaan ketika orang lain bahagia dan meresakan kesedihan ketika orang lain ditimpa musibah, akan membuahkan sikap solidaritas yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim akan lebih peduli dan memberikan perhatian yang lebih kepada saudaranya sesama muslim. Dari sikap inilah islam dan kaum muslimin akan semakin kuat dalam berbagai hal, termasuk secara ekonomi (penguatan ekonomi) sehingga terhindar dari jurang kemiskinan.
2. Terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Jika seorang muslim mampu memberikan kasih sayang terhadap muslim lainnya dan kasih sayang itu diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, kita akan merasakan betapa nikmatnya kebersamaan sebagai umat islam dan bangsa yang kuat dan kukuh serta tidak mudah di adu domba yang sarat akan gesekan dan perpecahan. Apalagi dengan sikap ikhlas karena semata mengharap ridha Allah SWT.
3. Terciptanya kerukunan hidup antara sesama warga masyarakat. Apabila seorang muslim mampu menghargai dan menghormai orang lain dalam berbagai hal, termasuk menghormati dan menghargai terhadap adanya perbedaan, baik dalam hal bahasa, etnis-suku, budaya, maupun pemahaman agama yang sarat akan perbedaan pandangan, mazhab, dan pendapat, kita akan merasakan betapa nikmatnya hidup rukun dalam sebuah perbedaan yang dibingkai atas dasar ukhuwah islamiyah dengan menganggap perbedaan sebagai rahmat atas kasih sayang Allah kepada semua hamba-Nya.
Menyikapi Perbedaan dengan Toleransi
Indonesia merupakan negara-bangsa yang majemuk dengan beragamnya etnis-suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Dalam keadaan yang demikian ini diperlukan rasa persatuan dan kesatuan yang kuat antar sesama bangsa Indonesia, khususnya dalam hal agama diperlukan apa yang disebut dengan toleransi. Makna toleransi mempunyai peran yang sangat besar terhadap rasa nasionalisme dan kebangsaan dalam diri bangsa Indonesia.
Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam hal beragama. Menyikapi bangsa Indonesia yang majemuk, dalam islam dilarang keras berbuat dhalim pada siapapun (termasuk non-muslim) hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S. Al-Mumtahah ayat 8).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menafsirkannya bahwa Allah SWT tidak melarang kita (umat Islam) dalam berinteraksi dan berbuat baik kepada orang-orang non-muslim. Selama mereka (umat beragama selain Islam) tidak memerangi kita karena agama dan selama mereka tidak mengusir kita dari negeri kita, maka tidak mengapa kita menjalin hubungan yang baik dengan mereka, karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan di dalamnya.
Akan tetapi toleransi yang dimaksudkan adalah dalam interaksi sesama manusia atau hubungan sosial, bukan dalam konteks agama. Toleransi dalam makna agama Islam ada batasnya dan tidak boleh “kebablasan”. Kita sebagai umat Islam tidak boleh semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, kita harus lebih mengenal batasan-batasan dalam toleransi itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda bahwa umat islam akan menjadi manusia yang labil dan mudah meniru umat lain. Dari Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sungguh kalian (umat Islam) akan mengikuti kaum sebelum kalian, sama persis seperti jengkal kanan dengan jengkal kiri atau seperti hasta kanan dengan hasta kiri. Hingga andai mereka masuk ke lubang biawak gurun, kalianpun akan mengikuti mereka. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apakah yang Anda maksud orang Yahudi dan Nasrani? Jawab beliau, Siapa lagi (kalau bukan mereka)” (H.R. Bukhari ke 7320 dan Muslim ke 6952).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap toleransi diterjemahkan sebagai sikap tenggang rasa (menghargai, membiarkan, atau membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya) yang berbeda dengan pendirian kita sendiri. Kita memberikan toleransi terhadap agama lain, berarti kita membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan aktivitas agama mereka.
Dalam How the Idea of Religious Toleration Came to the West, Perez (2003) memberi batas toleransi sebagai sikap menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. Jadi sekarang kita sudah menemukan inti makna toleransi yang kita kenal juga di dalam agama kita, yaitu agama Islam, maknanya adalah membiarkan, menghormati, dan tidak mengganggu penganut agama lain.
Rasulullah SAW memberi peringatan bagi orang yang tasyabuh (meniru) tradisi agama lain. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya, “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (H.R. Abu Daud ke 4033).
Beberapa ajaran tenggang rasa (toleransi) sebagai seorang muslim kepada sesamanya (manusia) yang non-muslim, misalkan :
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga non-muslim. Teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang yahudi. Beliau adalah seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, yaitu Imam Mujahid, beliau berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing lalu menyuruhnya untuk membagikan kepada tetangganya yang yahudi.”
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dhalim terhadap non-muslim. Kita dapat mengambil contoh pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan seorang muslim, maka kita tetap harus berbuat baik dan berbakti kepada mereka dalam hal muamalah atau hubungan sosial yang humanis antar sesama manusia. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (Q.S. Luqman ayat 15).
3. Islam melarang keras membunuh orang-orang non-muslim (kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin). Dalam islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi, yaitu kafir yang memerangi kaum Muslimin. Selain itu, semisal orang kafir yang mendapat suaka (perlindungan) atau ada perjanjian dengan kaum Muslimin untuk hidup dengan cara damai, semisal kafir dzimmi, kafir musta’man, dan kafir mu’ahad maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun” (H.R. An-Nasa’i).
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim. Contohnya adalah ketika Umar bin Khattab membebaskan dan menaklukkan Yerussalem di Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memeluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah. Hal ini sangat jauh berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, faktanya seperti yang kita ketahui bersama, mereka (orang-orang non-muslim) menghalalkan segala cara dan justru berbuat tidak adil serta mereka melakukan pembantaian.
5. Islam mengajarkan menolong siapa saja.Rasulullah SAW bersabda, “Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala” (H.R. Bukhari ke 2363 dan Muslim ke 2244). Hal itu mencerminkan bahwa Islam merupakan agama yang peduli terhadap sesama manusia. Sebagai bentuk hubungan hablu min nas atau muamalah secara sosial humaniora maka umat islam diharuskan membantu terhadap sesama kita yang kesusahan, bahkan terhadap orang-orang non-muslim.
6. Boleh memberi hadiah pada non Muslim. Tujuannya adalah untuk membuat mereka (orang-orang non-muslim) tertarik pada islam, mendakwahi mereka, atau agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Harapannya adalah terciptanya relasi antara umat islam dengan orang-orang di luar Islam. Dari Ibnu Umar, beliau berkata yang artinya, “Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi SAW, ‘Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jumat dan ketika ada tamu yang mendatangimu.’ Nabi SAW berkata, ‘Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.’ Kemudian Rasulullah SAW didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada Umar. Umar pun berkata, ‘Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?’ Nabi SAW menjawab, ‘Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.’ Kemudian Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Mekkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam” (H.R. Bukhari ke 2619).
Makna toleransi dalam Islam adalah dengan cara membiarkan non-muslim menjalankan ibadah dan merayakan hari-hari besar mereka, janganlah kita mengganggu atau mengusiknya, bahkan meski dengan kata-kata (yang mengolok atau merendahkan). Kita diperbolehkan untuk saling membantu dan bergaul dengan baik terhadap orang-orang non-muslim, namun bukan dalam hal ibadah melainkan dalam hubungan muamalah secara sosial.
Kita seharusnya bersyukur dapat hidup di Indonesia yang diliputi kedamaian di dalamnya, walaupun terdapat beberapa masalah terkait dengan berbagai sektor dalam kehidupan, seperti halnya sektor ekonomi, budaya, politik, dan bahkan agama. Namun semua masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya hukum yang berlaku tegas di negara ini, oleh karena itu hukum yang tegas harus ditegakkan kepada siapa saja tanpa terkecuali.
Kita harus kembali kepada makna toleransi yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasullullah SAW secara islami, karena kita sebagai umat muslim sudah seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di dalamnya. Fakta yang ada memang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mejemuk masih mudah terpengaruh oleh perayaan-perayaan agama lain, sehingga ikut masuk di dalamnya yang sebenarnya hal itu tidaklah diperbolehkan dalam islam.
Oleh karena itu diperlukan kegiatan-kegiatan kegamaan yang berupaya untuk menguatkan akidah islamiyah sehingga menjadi kokoh di seluruh penjuru Indonesia. Sehingga nantinya bangsa Indonesia yang majemuk menjadi bangsa Indonesia dengan umat islam yang memiliki jati diri di dalamnya, dengan tujuan menjadi kaum muslimin yang dapat membanggakan ajaran-ajaran agamanya dan tidak terpengaruh oleh ajaran agama lainnya. []
Comments
Post a Comment