Hati Kaca, Hati Salju, dan Hati Karet
Tindakan Ananda Sukarlan melakukan walk out pada saat gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sedang menyampaikan pidato adalah sebuah tindakan multitafsir. Dengan mudah tindakan itu ditarik menjadi tindakan tidak etis, tak sesuai dengan prinsip masyarakat beradab.
Pun sebaliknya, tak sedikit yang menganggapnya sebagai sebuah ekspresi akan kebebasan pilihan.
Apalagi di tengah iklim demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini, maka ekspresi seperti itu dianggap sah adanya. Di tengah kontroversi tentang bagaimana tindakan itu harus dinilai, kontroversi lain merebak. Ya, sebagai respons atas tindakan Sukarlan tersebut, sebuah kampanye untuk melakukan boikot pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang layanan jasa berkembang.
Pendukung dan penolak kampanye itu sama banyaknya. Tak sulit diduga, kampanye boikot itu lalu bergerak pada wilayah perdebatan yang paling seksi: pertentangan identitas agama.
Saya tak hendak masuk ke wilayah kontroversi yang tak berujung ini. Di samping tidak akan memberikan kontribusi pada penjernihan masalah, juga secara kategoris saya tidak ingin terjebak pada konteks in-group dan out-group yang belakangan begitu menggejala.
Toh nyatanya, sayapun tidak merupakan bagian dari kelompok manapun yang tengah berseteru. Tetapi satu hal yang terang-benderang adalah: akhir-akhir ini pendekatan hitam-putih dalam menilai posisi seseorang atau kelompok dalam berbagai isu, dengan mudah menjelma menjadi justifikasi religius. Maka, tulisan ini hanya akan berbagi keresahan tentang pergeseran mentalitas anak bangsa kita yang semakin hari, rupa-rupanya, semakin rawan.
Merujuk pada judul tulisan ini, maka tak ada niat untuk menyamakan hati dengan benda. Ini hanya ibarat. Jika hati ibarat kaca, dapat dikatakan bahwa tindakan walk out dan boikot sama-sama merupakan cermin dari hati yang rawan, fragile. Entah dari mana mulanya, demikian seringnya kita menyaksikan fenomena hati kaca ini merebak dalam kehidupan masyarakat.
Ibarat kaca yang mudah retak dan bahkan pecah, demikian pula gambaran suasana mental sebagian masyarakat kita hari ini. Hati yang fragile telah menjadikan perbedaan, bahkan nuansa, menjadi alasan untuk melakukan identifikasi.
Dari identifikasi itu lalu berubah menjadi kualifikasi dan diskualifikasi. Akibatnya, ruang sosial dalam kehidupan masyarakat hanya diisi oleh dua warna: hitam dan putih. Secara mutlak, hanya warna itu yang muncul dalam pandangan hati kaca yang rawan retak.
Karena itu, cara pandang seperti ini seolah tidak membuka kemungkinan adanya gradasi warna. Bahwa hitam sepenuhnya hitam dan putih sepenuhnya putih. Faktanya, di antara warna hitam dan putih itu terdapat warna abu-abu.
Warna abu-abu pun tidak tunggal. Ada warna abu-abu yang cenderung kepada hitam, ada abu-abu yang cenderung ke putih, ada pula abu-abu yang merepresentasikan warna hitam dan putih secara merata.
Maknanya, dua warna yang bertentangan sebenarnya bisa melahirkan tiga variasi warna lain dari warna utama itu. Sesungguhnya demikianlah realitas sosial itu terjadi. Namun, polarisasi-polarisasi sikap dalam masyarakat yang cenderung tajam, benar-benar membingkai segala sesuatu dalam warna paradoks hitam dan putih saja.
Jika direnungkan lebih mendalam, pada dasarnya tak ada yang benar-benar bertentangan secara mutlak. Pada satu titik dan posisi, seseorang atau sekelompok orang memang bisa benar-benar berbeda. Tetapi rupanya, dalam perbedaan itu ada sisi-sisi yang mempertemukan. Namun, soal mengidentifikasi sisi-sisi kesamaan di tengah perbedaan yang telah mengalami gradasi ini bukan perkara mudah.
Hati kaca sulit melakukan variasi sikap. Karena ibarat kaca, pergeseran dan perbenturan sedikit saja, sangat mungkin menciptakan retak pada bidang kaca itu. Lalu, adakah yang mampu mengembalikan kaca yang telah retak ke kondisinya semula? Rasanya sangat sulit.
Dengan konteks yang sedikit berbeda, para sufi sering membuat umpama hati dengan kaca. Konteksnya adalah kebersihan dan kebeningan. Kaca yang bening akan memantulkan bayangan yang bening pula, sementara kaca yang berdebu akan memproduksi bayangan yang berdebu juga. Maka, para sufi mengingatkan agar kaca hati dijaga dari debu. Setiap butir debu yang menempel pada kaca hati harus buru-buru dibersihkan.
Karena jika terlambat, debu yang mulanya sebutir akan berhimpun, lalu menggumpal dan menjelma sebagai tabir samar yang menutupi kejernihan kaca hati. Membersihkan kaca yang demikian, tak hanya sulit, tetapi beresiko menjadikan kaca retak, pecah dan lalu tak bisa wujud kembali sebagai kondisinya semula.
Mohon maaf, jika saya agak curiga, rupanya model hati kaca seperti inilah yang tengah menjadi gejala umum di kalangan sebagian besar anak bangsa kita. Mulanya kaca itu dihinggapi setitik debu prasangka dan curiga.
Sayangnya, tak segera dibersihkan karena baru sebutir. Tetapi dalam alam keliaran informasi seperti sekarang ini, butiran debu prasangka dan fitnah itu ribuan jumlahnya, dan masing-masing berlomba menempel pada bidang kaca hati yang semula bersih. Akhirnya, kaca menjadi kotor dengan debu tebal yang hanya menghasilkan bayangkan yang kotor pula tadi itu.
Ya. Begitulah hikayat tentang hati kaca. Lalu, tak mungkin kita tak mendengar cerita tentang putri baik hati dengan segala kelembutannya, yang lalu dijuluki berhati salju. Salju tak hanya putih, tapi juga lembut dan sejuk.
Agaknya kesempurnaan dalam paduan warna putih, kelembutan dan rasa sejuk ini menjadi ibarat bagi hati yang sempurna. Berbeda dengan kaca yang tak bisa dibentuk, salju yang putih dan sejuk ini bisa dibentuk sebagai rupa-rupa benda, meskipun tak benar-benar lentur. Begitu pulalah hati yang berwatak salju. Ia tak akan dengan mutlak bersikukuh pada satu keyakinan yang salah, sehingga jika suatu saat keyakinan yang salah itu harus mengalami modifikasi, hati salju tak akan sulit menerimanya.
Hati salju pula bermakna hati yang mudah memaafkan. Para sufi menyebut hati yang mudah memaafkan itu sebagai bahrul qalbi, hati yang seluas samudra. Samudera yang luas mampu menghayutkan macam-macam sampah yang sengaja dibuang ke laut. Demikian pula salju, salju pasti punya kekuatan untuk menyerap debu. Sehingga jika ada debu yang menempel ke salju, pastilah debu itu akan lenyap. Sama halnya, apa yang dipancarkan dari hati salju adalah rasa sejuk. Maknanya, hati yang berwatak salju tak akan mudah terbawa dalam arus panas situasi.
Lalu saya ingin mengajukan ibarat hati yang ketiga, yakni hati karet. Umumnya, karet identik dengan kelenturan. Maka inilah yang saya maksudkan dengan hati karet. Hati yang lentur manakala mengalami perbenturan dengan ragam kontradiksi dan perbedaan. Maka, amatilah setiap benda yang terbuat dari karet. Tak mudah pecah, meskipun jauh dari ketinggian. Tak rawan benturan, karena sifat dasarnya yang elastis. Bahkan ketika benda yang terbuat dari karet terinjak sehingga bentuk awalnya berubah, dengan sedikit sentuhan, bentuk awal tadi bisa dikembalikan.
Alangkahnya eloknya hati yang demikian. Namun karet tak melulu berwarna putih sebagaimana salju. Karet tak pula atau bening sebagaimana kaca. Maka tak mampu memantulkan bayangan. Tetapi dalam hal kelenturan, hati karet adalah yang terbaik. Bayangkanlah jika masyarakat kita mengadopsi filosofi hati karet ini, rasa-rasanya kerawanan konflik sosial yang belakangan ini menggejala bisa sedikit terkurangi.
Akhirul kalam, memang Idealnya nilai positif dari tiga kategori hati di atas digabungkan. Sebening kaca, seputih dan sesejuk salju, elastis dan fleksibel ibarat karet. Namun, rasa-rasanya, kita tak harus memiliki hati ideal itu untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman di dunia. Cukuplah berhati karet yang elastis, fleksibel, tidak fragile untuk menjadi bekal harmoni. Meskipun tak sesejuk dan seputih salju, atau sebening kaca, hati yang elastis akan menjadikan manusia mudah menerima perbedaan dan lapang dalam memahami kesalahan orang lain dan lentur dalam memberi maaf. Mungkinkah kita hadirkan.
*) Ditulis oleh Dr. Pradana Boy ZTF, Pengasuh Padepokan Laboratorium al-Qur’an Bait al-Hikmah, Malang.
Comments
Post a Comment