Menjadi Insan Kamil (Sepercik Telaah Pemikiran Moh. Iqbal)


Mohammad Iqbal adalah seorang muslim yang taat, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pula sehingga menjadikan ia pribadi yang tangguh dan menginspirasi, tokoh yang sangat sentral dalam pemikiran dan pergerakan di India (Kala itu Pakistan belum berdiri).

Iqbal, begitulah namanya akrab dibicarakan khalayak, ia banyak melahirkan karya dan pemikiran yang fenomenal, yang bahkan masih sangat relevan dengan kondisi kekinian. Salah satu karya fenomenalnya adalah pemikirannya dalam buku “Reconstruction of Religious Thougth in Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Religi dalam Islam).

Iqbal juga merupakan seorang tokoh yang bisa dibilang komplet, ia adalah seorang filosof, seorang penyair, ideolog, bahkan dia juga adalah seorang politikus.

Ia juga menelurkan gagasannya terkait pribadi (individu) insan kamil (the perfect man) dalam islam melalui pemikiran dan pandangan empirisnya terhadap realita singgungan islam dan sosial-politik di India kala itu.

Dalam pemikirannya terhadap sosok insan kamil, Iqbal menekankan pada aspek “khudi” (ego diri/self) yang dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, kolonialisasi (penjajahan) terhadap wilayah islam, paradigma berpikir “imitasi”, pemikiran yang berbahaya (fatalistic thinking), dan wahdatul wujud (berupa pantheisme islam).

Sebagai seorang eksistensialis, Iqbal mengkritik keras pemikiran esensialime dan “mengutuk” pantheisme islam.

Asumsinya adalah bahwa manusia yang potensia dan aktus. Manusia memiliki potensi yang berlimpah, sebagai makhluk mikrokosmos manusia memiliki sifat tuhan, juga nafsu hewan, dan sebagainya, maka manusia juga memiliki berbagai potensi diri yang diturunkan dari itu semua. Dan manusia memiliki berbagai alternatif kemungkinan untuk mengaktualisasikan potensinya.

Selanjutnya, ia mengaitkan pembentukan khudi dengan konteks hakikat dan penciptaan manusia sebagai khalifatullah. Sebagai khalifah, perwakilan tuhan di bumi, maka manusia adalah subjek, dan ia harus berlaku sebagai subjek (pelaku), manusia yang mengalir dan termakan oleh lingkungannya, maka ia telah memposisikan dirinya sebagai objek, bukan subjek. Maka, tentukanlah sendiri jalanmu, hidupmu adalah pilihanmu, jika kau lapar maka hanya akan ada dua pilihan, yaitu makanlah dan laparmu akan hilang atau biarkan saja dan kau akan tetap lapar.

Iqbal juga menyatakan keterkaitan antara self-building dengan Adam dan kesadaran manusia. Ia menganggap bahwa Adam diturunkan ke bumi bukan hanya lantaran telah melanggar ketentuan Allah, tapi baik ia melanggar ataupun mematuhinya, ia akan tetap diturunkan ke bumi dengan jalan yang berbeda karena telah ditegaskan Allah, bahwa Dia menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, maka memang sudah seharusnya manusia bertempat di bumi. Transformasi dari pola instingtif menjadi cara hidup dengan kesadaran sebagai diri yang bebas, kritis, dan dinamis berlaku di bumi untuk menjalankan tanggung jawab sebagai khalifatullah.

Iqbal mengatakan bahwa khudi (ego) adalah kemandirian, personalitas, individualitas. Ia beranggapan bahwa individualitas adalah poros penentu realitas. Individualitas adalah kesendirian yang esensial. Ke-aku-ada-an (eksistensi adanya aku) menandakan bahwa manusia memiliki kesadaran untuk “becoming”, dan itu pula yang dikatakan oleh Ali Syari’ati dalam bukunya yg diterjemahkan oleh Amien Rais dalam bahasa Indonesia, Tugas Cendekiawan Muslim (1984).

Khudi memiliki lima variabel menurut Iqbal yang terbagi menjadi self-relience, self- respect, self-confidence, self-preservation, dan self- assertion. Kesemuanya itu berperan dalam proses self-building. Pembangunan diri (khudi/ego) dimaknai agar manusia berusaha untuk tampil, mengaktualisasikan dirinya, untuk eksistensi, dan self-building bergerak secara proses (bertahap) atau bersifat evolutif.

Menurutnya (Iqbal), ego diklasifikasikannya dalam dua macam, yaitu ego-efisien dan ego-apresiatif yang keduanya harus saling mendukung dan harus mampu dikuasai insan yang kamil. Ego-efisien ialah ego yang bersifat praktis dan temporal faktual, sedangkan ego-apresiatif lebih bersifat empiris dan batiniyah yang reflektif serta non-temporal.

Iqbal berpendapat bahwa ego itu sendiri bersifat dialektis, ia saling berkaitan dengan lingkungannya, ketika egonya mengatakan bahwa dia akan menjadi muballigh, maka akan terjadi dialektika dengan lingkungannya (geografis, pola sosial, keilmuan masyarakat, spiritualitas masyarakat, dan lain-lain) yang dinamis. Maka kunci untuk memenangkan ego terhadap ketegangan atau dialektika yang terjadi adalah dengan keteguhan diri, konsistensi atau keistiqamahan dan proses self-building.

Ketika manusia telah mampu membentuk khudi-nya, maka konsistensinya secara bertahap akan membawanya dalam puncak ego yang paling sempurna, ia dikatakan sebagai Insan Kamil, the perfect man yang sejauh ini hanya terdapat dalam diri Rasulullah Muhammad SAW.

“Step” terpenting dalam rangka mencapai insan kamil yang harus dilakukan adalah obedience of law (patuh dan taat hukum/peraturan), self-controll sebagai bentuk atas kesadaran diri, dan yang menjadi multi-dimensi (transenden dan humanis) adalah rasa kebertanggungjawaban terhadap amanah kekhalifahan yang disematkan Allah pada manusia. Maka, ego yang dimaksudkan oleh Iqbal adalah pada karakter dan autentitas diri, autentik.

Melakukan pembangunan karakter yang sesuai dengan tujuannya, sebagai Insan Kamil. Sosok panutannya pun sudah jelas, Rasulullah Muhammad SAW sebagai the perfect man in the world. Dan dijelaskan pula dalam pedoman umat islam (al-Qur’an dan Hadits) bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang uswatun hasanah, sosok yang memang hadir sebagai panutan dan satu-satunya yang layak ditiru.

Iqbal menerka bagaimana menjadi sesosok manusia layaknya Muhammad dengan pemikirannya yang eksistensialistik dan empirik, berdasar apa yang ia alami dan analisis di negerinya, India (saat itu). Ia mengatakan bahwa Insan Kamil, seperti sosok Muhammad adalah mukmin sejati yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan.

Iqbal pun bukan semata seorang yang sangat teoretis. Dalam gerakannya, Iqbal adalah sosok intelektual yang memiliki andil besar sebagai ideolog kemerdekaan Pakistan, ia juga yang mempropagandakan pendirian Pakistan, dia adalah sosok “vital” dalam berdirinya Pakistan (meskipun Pakistan dideklarasikan oleh Ali Jinnah dan Iqbal sudah wafat ketika Pakistan lahir).

Di Pakistan sendiri terdapat satu hari khusus yang diperingati sebagai “Iqbal Day”, sebagai apresiasi atas jasanya yang mengobarkan semangat pada rakyat Pakistan yang sebelumnya seringkali terlibat konflik SARA dengan India yang mayoritas Hindu kala itu.

Wallahua’lam Bisshawab
Semoga kita bisa mengambil pelajaran, semangat, dan motivasinya…

*) Ditulis oleh Ubay Nizar Al-Banna

Comments

Popular Posts

Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Refleksi Diri dalam Meneladani Muhammad SAW

Koridor-koridor Toleransi dalam Agama