Krisis Moralitas Generasi Kekinian


“Tugas Berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa”
(Ir. Soekarno)

“Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat”
(Theodore Roosevelt)

“Salah satu dosa fatal adalah pendidikan tanpa adanya karakter”
(Mahatma Gandhi)

“Kecerdasan dan karakter adalah tujuan akhir dari pendidikan yang sebenarnya”
(Martin Luther King)

“Masyarakat kita terlanda tragedi akhlak”
(Susilo Bambang Yudhoyono)

Beberapa kutipan para tokoh tersebut mengisyaratkan pentingnya keterkaitan, sinkronisasi antara pendidikan, dalam hal ini secara intelektual, dengan moral, perilaku dan kepribadian (karakter). Pendidikan yang baik adalah dimana kecerdasan intelektual balance dengan moralitasnya.

Mahasiswa, sebuah status sosial yang amat disegani tapi juga kerap menghadirkan dilema bagi penyandangnya. Bukan sekedar siswa, tapi lebih dari itu, “maha”, yang segala-galanya. Maka dari itu mahasiswa haruslah mampu, dengan bekal intelektualnya, segudang ilmu dan teorinya untuk menjadi penggerak masyarakat. Ia haruslah mampu peka dengan kondisi sosial, lingkungannya, terhadap umat.

Terlebih ia harus mampu menganalisanya, mampu menganalisis problematika yang tengah terjadi, hingga memunculkan ide-ide, gagasan-gagasan dalam mengatasinya untuk kemudian menjadi pelopor masyarakat menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Realita saat ini betapa “vital” dan dirindukannya peran kehadiran mahasiswa yang memang banyak diharapkan mampu mengatasi problematika sosial pun selalu memunculkan kondisi dilematis. Ketika menengok sejarah pergerakan kemahasiswaan, mahasiswa selalu berhasil menjadi pelopor, menggerakkan masyarakat luas untuk mampu berjuang bersama menyongsong masa depan.

Gerakan mahasiswa 1966 yang kemudian meruntuhkan orde lama, gerakan mahasiswa era 1974, hingga peristiwa gerakan paling heroik yang menghasilkan terbukanya “gerbang” reformasi, gerakan 1998. Gerakan para mahasiswa kala itu terasa begitu kental dan nyata.

Kini mahasiswa seolah kembali harus mencari jati dirinya, berbagai stigma negatif tentang mahasiswa pun banyak berkembang di masyarakat seperti mahasiswa yang hanya bisa demo, gerakan kemahasiswaan yang hanya membuat mahasiswa kuliah molor, mahasiswa yang malas, dan tak kalah pelik adalah realita moralitas mahasiswa kini yang tengah mengalami dekadensi moral begitu drastis. Banyak terjadi kasus yang mencerminkan “kebobrokan” moral kaum intelektual ini. Ambil saja contoh kasus seks bebas yang semakin meningkat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ari Saputra tahun 2007 (Perilaku Beresiko Mahasiswa) sebanyak 22,6% mahasiswa terjangkit “wabah” moralitas ini.
Sementara itu berdasar data dari Pusat Informasi Konseling Remaja, sebesar 65% anak usia pelajar hingga mahasiswa melakukan hal-hal yang menjurus pada perilaku seks bebas di tahun 2011.

Itu baru untuk satu kasus, dari tahun ke tahun jumlahnya pun semakin meningkat, belum lagi kasus penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif), kasus-kasus gesekan seperti tawuran, dan masih banyak lagi.

Melihat peran mahasiswa yang sejatinya begitu penting dalam konteks sosial kemasyarakatan dan kebangsaan, terlebih dalam fungsinya untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah sebagai kaum intelektual (intelektual organik kata Gramsci) serta melihat fakta, realita dekadensi moral yang terjadi pada mahasiswa, bahkan pelajar, maka tindakan “moral building” yang memang sudah seharusnya dilakukan tidak bisa lagi dikesampingkan.

Pembangunan struktur dan infrastruktur ataupun sarana prasarana yang selama ini menjadi prioritas dengan mengesampingkan pembangunan “manusia” harus diselaraskan, dalam artian antara pembangunan karakter (moral) harus beriringan dengan pembangunan “fisik” (sarana prasarana).

Tembok China yang merupakan dinding benteng yang sangat besar, sangat tinggi, dan bahkan sangat panjang membentang menyimpan suatu pelajaran tentang pentingnya pembangunan karakter dan moral manusia.

Dalam usia satu abad pasca tembok tersebut rampung, China terlibat dalam beberapa peperangan besar. Tembok memang sangatlah kokoh berdiri dan sangat sukar untuk ditembus pasukan dan peralatan-peralatan perang lawan kala itu.

Namun bukan berarti tembok tersebut “sempurna” sebagai pertahanan, justru kemudian tembok tersebut menjadi sangat mudah tertembus lawan yang menyusup dengan bantuan para penjaga gerbang tembok tersebut, cukup dengan imbalan yang menggiurkan, mereka akan menggadaikan bangsa mereka dengan “berkomplot” bersama para musuh China.

Kala itu memang China teramat disibukkan dg pembanguna infrastruktur (termasuk tembok China), hingga mereka melupakan pembangunan SDM (sumber daya manusia), mereka lalai untuk membangun karakter kepribadian manusianya.

Menengok sekilas sejarah panjang tembok China tersebut, pelajaran tentang pentingnya moralitas, pembangunan moral, karakter manusia adalah hal yang wajib menjadi priority list dalam program pemerintahan, terutama dalambidang pendidikan.

Jika kita tengok Indonesia kini, terjadi proses dekadensi moral yang teramat sangat pesat dan membahayakan. Wacana pemerintah untuk melaksanakan “revolusi mental” nampak masih sangat jauh dari kata memuaskan.

Kriminalitas dan kemaksiatan dengan mudahnya menggerogoti bangsa ini. Mereka lupa cara untuk membangun manusia, memanusiakan manusia. Budaya barat dengan mudahnya masuk dan diimplementasikan tanpa ada filtrasi yang baik, kemerosotan di berbagai sektor nampak jelas terlihat.

Jarred Diamond dalam satu kesempatan mengatakan, kehancuran sebuah peradaban dapat terjadi melalui tiga hal, yaitu tatanan keluarga, pendidikan, dan keteladanan para tokoh serta ulama’.

Tiga hal tersebut nampak sangat relevan dan aktual melihat kondisi sosial kemasyarakatan dan kebangsaan kini. Kita coba tengok peran-peran ibu rumah tangga kini yang sebagian lebih memilih memercayakan pendidikan di dalam rumah bagi anak-anaknya pada para “pembantu”, memercayakan berbagai urusan kerumah tanggaan pada pembantu, sementara mereka sibuk dengan urusannya sendiri diluar sana, menfejar predikat sebagai “wanita karir”, dalihnya adalah hak asasi manusia (HAM) dan emansipasi wanita. Padahal perlu pula untuk memaknai HAM dan emansipasi bukan hanya secara harfiah, tapi pengkajian lebih mendalam.

Selanjutnya pendidikan, ia bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran para pendidik (guru, dosen, dsb) . Mengurangi apresiasi dan peran fungsi utama mereka sebagai tenaga pendidik, terkadang para pendidik disibukkan oleh berbagai hal yang cenderung lebih administratif sehingga menjadikan fungsinya sebagai pendidik sebagai hal sekunder (tidak diutamakan).

Prioritas orientasi pendidik dibangun hanya untuk sekedar mengejar materi, yang penting “ngajar”, fokus mereka adalah pada “materi” yang lain, bukan pada materi pelajaran, mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik.

Lalu terakhir adalah distorsi “image” tokoh dan ulama’ untuk menghancurkan keteladanan mereka. Caranya adalah dengan menyibukkan mereka pada hal-hal taktis, orientasi materi dan kekuasaan (jabatan), yaitu melalui “transformasi” peran mereka untuk diterjunkan dalam dunia politik praktis.

Citra yang telah terbangun kemudian akan terkikis perlahan hingga tak ada lagi kepercayaan dari masyarakat terhadap mereka, karena disadari ataupun tidak, perbedaan stigma masyarakat terhadap para ulama’ dengan pemain-pemain politik (praktis), orang-orang pemerintahan sangatlah jauh berbeda. Maka kemudian takkan ada lagi orang yang akan diteladani apalagi dianut tindak tanduk dan perkataannya.

Terkikis hingga menghilangnya peran fungsi ibu rumah tangga dan pendidikan keluarga, selanjutnya lenyapnya peran fungsi tenaga pendidik hingga hanya berorientasi pada materi semata, pun dengan sirnanya kepercayaan masyarakat terhadap tokohnya serta para alim ulama’, maka kemudian nilai-nilai luhur, nilai positif yang hendak diwariskan pada generasi masa depan tidak akan tersampaikan, tidak akan ada yang mendidik, membangun karakter dan kepribadian generasi penerus.

Kinipun telah terlihat, dekadensi moral, labilnya sifat dan sikap para kaum akademisi, kaum intelektual hingga kata benar dan salah pun terasa tabu, semua seolah menjadi sebuah kewajaran. Mengesampingkan nilai-nilai religiusitas, menyingkirkan norma-norma, hingga meniadakan aturan-aturan berbangsa dan bernegara yang kemudian berlanjut dengan “boomingnya” kriminalitas dan kemaksiatan dimana-mana, kekacauan di berbagai sektor, mulai pemerintahan hingga kaum akar rumput.

Ketika itulah, kehancuran yang sesungguhnya terjadi. Kehancuran bangsa akan sangat dekat, tubuh yang terbungkus pakaian mewah, aksesoris yang wah, bangunan-bangunan fisik, struktur dan infrasuktrur yang megah, benda-benda mewah melengkapinya, namun semuanya itu tak berarti ketika jiwanya, pribadinya tidak dibangun dengan akhlak yang mulia, karakternya tidak segarang penampilannya (tidak tangguh), mentalnya rapuh.

Maka mahasiswa sebagai kaum terpelajar, kaum intelektual, harus mampu bukan hanya melakukan aktivitas intelektualnya saja, tapi kemampuan intelektual tersebut juga harus bisa membentuk karakter kepribadian dan moralnya menjadi semakin baik, terlebih ia harus mampu pula menjadi penggerak masyarakat untuk transformasi moral menjadi lebih baik. Pendidikan pun harus dibenahi, para anak-anak, putra-putri bangsa ini harus dibina moralnya, bukan hanya dididik teori “melulu”, tapi karakter dan moralitas merupakan sesuatu yang lebih “urgen” dan sangat penting.

*) Ditulis oleh Ubay Nizar Al-Banna

Comments

Popular Posts

Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Refleksi Diri dalam Meneladani Muhammad SAW

Koridor-koridor Toleransi dalam Agama