Amal yang Ilmiah dan Ilmu yang Amaliyah sebagai Dasar Gerakan

Dalam konsep (teori) hegemoni ala Antonio Gramsci, kaum intelektual diklasifikasikan menjadi intelektual tradisional dan intelektual organik.

Baginya setiap individu (manusia) memiliki potensi (bakat) intelektual dimana kemudian diklasifikasikannya dalam dua jenis tersebut. Menurutnya, intelektual tradisional adalah dimana kaum intelektual belum meluas dan hanya digerakan oleh faktor produksi. Adapun intelektual organik baginya adalah ketika kaum intelektual mampu menjadi organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jika kita coba telisik, bisa jadi klasifikasi Gramsci terhadap kelompok-kelompok intelektual tersebut disebabkan singgungannya dengan krisis di Italia saat itu. Dimana kita ketahui bahwa Gramsci hidup di era-fasis Benito Mussolini.

Mengakar dari konsepsi Gramsci terhadap kelompok intelektual, F. Budi Hardiman (2011) berasumsi bahwa intelektual tradisional merupakan kemampuan mendasar dan tradisional kaum intelektual dalam lingkungan sosial. Maka, tidak heran jika kelompok inilah yang lebih besar (secara kuantitas).

Pergeseran dari intelektual tradisional menjadi intelektual organik dimungkinkan terjadi bilamana potensi (tradisional) tersebut berkembang, melalui pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran.

Counter hegemoni dimungkinkan terjadi bilamana intelektual organik terwujud. Seseorang dengan kesadaran organik akan mampu menggawangi (menjadi agen) perubahan, ia mampu membangun kesadaran bagi lingkungannya (masyarakat sekitar) akan adanya hegemoni dan penindasan yang nyata.

Beralih dari situ, sejatinya dalam Al-Qur’an yang turun lebih dari satu milenium lalu (sekitar abad ke-7 masehi), jauh sebelum Gramsci, Toynbee, Habermas, Marcuse, ataupun Adorno, bahkan sangat jauh sebelum Marx dilahirkan di bumi, telah banyak ayat di berbagai surah yang menyinggung persoalan sosial.

Dalam surah Al-Ma’un misalnya, bagaimana mungkin seseorang yang shalat (beribadah pada Allah SWT) justru semakin celaka. Hal itu dimungkinkan karena kelalaiannya dalam shalatnya, ia juga tidak mengindahkan sekitarnya, tidak memiliki kepekaan sosial.

Kuntowijoyo dalam Islam sebagai Ilmu (2006) memunculkan gagasan sosial profetiknya dengan mengutip surah Ali Imran ayat 110 dan menjabarkannya dalam 3 (tiga) aspek, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Menyeru pada kebajikan diinterpretasikan pada aspek humanisasi, bahwa manusia harus memiliki kepekaan terhadap sesamanya dan dengan bersama membangun peradaban, mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya, sebagai khalifatullah, konsep ini secara gamblang bisa kita anggap dengan konsep memanusiakan manusia.

Mencegah kemungkaran diinterpretasikan dalam aspek liberasi, yang berarti membebaskan dari segala macam keburukan dan penindasan terhadap sesamanya (manusia).

Sementara aspek transendensi berarti mengembalikan segala hakikat mendasar akan segala hal, yakni tauhid. Persoalan tauhid, tidak hanya dibaca dalam pada aspek teologis, tapi juga dalam langkah praksisnya. Hal senada juga muncul dalam gagasan tauhid sosial ala Amien Rais.

Menilik berbagai korelasinya, maka sejatinya berbagai aktivitas intelektual akan sia-sia bilamana tidak mampu membawa atau mempelopori perubahan. Kaidah ilmu adalah amaliyah dan amal adalah ilmiyah menjadi suatu landasan yang harus dipegang erat untuk mengejawantahkan teoritis dalam gerakan praksis.

Berilmu saja tidak akan cukup jika manfaat ilmu tersebut tidak bisa dirasakan oleh orang lain, justru akan semakin merugi. Sebaliknya beramal saja tidak akan cukup bilamana amalan-amalan (gerakan-gerakan) yang dilakukan tidak didasari atas wawasan (ilmu) dan pemahaman yang cukup.

*) Ditulis oleh Ubay Nizar Al-Banna

Comments

Popular Posts

Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Refleksi Diri dalam Meneladani Muhammad SAW

Koridor-koridor Toleransi dalam Agama