Korelasi Tauhid dan Praksis Sosial (Telaah Gagasan Tauhid Sosial Amien Rais)





Riuh gemuruh problematika melanda negeri ini (Indonesia), dari berbagai problematika pelik yang muncul ke permukaan maupun yang “masih” diredam menurutku berakar pada keadilan di negeri ini yang tak kunjung membaik, apalagi sesuai dengan narasi yang dicita-citakan. Keadilan dalam berbagai sektornya mungkin masih berada di alam mimpiku. Buruknya keadilan itu merembet ke berbagai hal yang kemudian semakin menyebabkan kegaduhan. Jangankan di kalangan bawah, bahkan para elit dan penguasa negeri pun gaduh tak karuan dalam menerjemahkan keadilan yang tepat di negeri ini.

Hampir sekitar dua dekade yang lampau, Amien Rais, mantan Ketua MPR RI pernah menelurkan buah pemikirannya dalam narasi tauhid sosial.

Gagasan tauhid sosial tersebut agaknya bisa dipahami sebagai respon terhadap ketimpangan sosial dan buruknya keadilan di Indonesia kala itu.

Mungkin pemikiran tersebut (tauhid sosial) sudah cukup jauh dengan era kita sekarang (telah terpisah sekitar dua dekade lamanya), namun menurut saya pribadi masih cukup relevan untuk dipahami dan diimplementasikan kini mengingat berbagai problematika sosial dan kebangsaan kini yang juga tak kunjung mereda (membaik).

Tauhid sosial menurut Amien merupakan suatu konsep praksis dimensi sosial manusia (seorang muslim khususnya) sebagai pengejawantahan dari ibadah-ibadah mahdahnya.

Pengakuan seorang muslim bahwa Allah sebagai “illah”-nya dan Muhammad sebagai rasulnya bukan hanya sebatas pengakuan dalam lisan dan pemantapan dalam hati, tapi juga harus membawa dampak dalam kehidupan muslim itu. Dalam dimensi sosialnya, ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya harus bisa dimaknai pula dalam dimensi sosial. Menurut Amien, kualitas ibadah seorang muslim sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi perilakunya dalam aspek sosial.

Tauhid sosial dalam paparan Amien Rais mengisyaratkan adanya lima unsur, yaitu unity of Godhead, unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, dan unity of the purpose of life.

Dari kelima “unity factor” tersebut, kita bisa melihat bahwa konsep tauhid sosial tersebut muncul dari Amien Rais sebagai respon terhadap meluasnya persoalan ketidakadilan.

Unity of Godhead yang dimaksudkan adalah berupa kesatuan ketuhanan. Pengakuan bahwa tuhan hanya satu, Allah SWT.

Unity of creation adalah kesatuan kreasi, kesatuan penciptaan, bahwa sesungguhnya segala yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah.

Kesatuan yang ketiga adalah Unity of mankind, kesatuan kemanusiaan. Konsep unity of mankind ini sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika negeri ini, bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, geografi, sejarah, dan segala perbedaan yang melatarbelakangi keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk diskriminasi dan penindasan, semua harus bisa berbaur dengan baik dalam konteks sosial.

Unity of guidance atau kesatuan pedoman. Kita sebagai muslim meyakini, bahwa pedoman hidup kita adalah berdasar pada wahyu yang diturunkan Allah kepada sang rasul yang kemudian ia sampaikan pada kita sekalian. Allah lah yang paling tahu apa yang baik atau buruk bagi kita, sehingga kita betul-betul dapat mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Unity of the purpose of life, kesatuan tujuan hidup. Sebagai muslim, maka kita harus meluruskan tujuan hidup, bahwa segala yang kita lakukan adalah semata menggapai, mencapai ridha Allah SWT.

Doktrin tauhid merupakan ruh kekuatan islam, namun pada aktualisasinya dalam dimensi kehidupan acapkali cukup jauh dari kenyataan. Keyakinan dan kepercayaan akan ke-Esa-an Allah SWT belum bisa terejawantah dalam perilaku umat dalam kiprah kehidupan sosialnya.

Hal tersebut kemudian memunculkan berbagai pertanyaan terkait praktek sosial dalam islam yang mungkin dianggap kutang komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah seperti tauhid sosial yang dipopulerkan Amien Rais, Sosial Profetik yang dipopulerkan Kuntowijoyo, dan sebagainya.

Dalam konteks praksis sosial islam ini, Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) turut memberikan pandangannya dimana secara substansial terdapat dua faktor, yakni keimanan dan praksis gerakannya.

Keimanan seorang muslim harus bisa diaktualisasikan dalam praksisnya untuk menjawab persoalan keummatan. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani al-munkar.

Sedang menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Islam sebagai Ilmu, ia menjabarkan pemahaman dalam surat Ali Imran ayat 110 dalam tiga aspek, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ia menyatakan pula bahwa nilai-nilai islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karenanya, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut.

Bagi seorang muslim, urusan ibadah dan berbagai hal spiritualitas lainnya diyakini akan menjembataninya menggapai kejayaan akhirat. Namun, suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus hal-hal serba ghaib dan lupa terhadap yang konkret juga kurang bisa dibenarkan. Kejayaan di dunia juga dibutuhkan untuk menggapai kejayaan di akhirat. Dengan menyadari kekurangan ini, ummat islam didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.

Tapi di sisi lain, kita perlu melakukan pembongkaran terhadap prinsip-prinsip teologi klasik yang terlalu sibuk mengurus masalah ghaib.

Cita-cita sosial dalam islam untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam (menjadi rahmat bagi sekalian alam, rahmatan lil ‘alamin) agaknya masih jauh melayang dalam angan kita. Namun, tidak bijak rasanya jika kita cuma menyimpannya dalam teks.

Perjuangan ke arah itu (mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin) memanglah bukan perkara ringan, bukan hal yang mudah. Itulah yang kemudian menjadi tugas kita dalam memberikan sumbangsih keanggunan untuk kemanusiaan, dalam rangka menggapai cita-cita kejayaan sosial islam.

Perjuangan ummat islam yang masih bergumul dalam kekalutan untuk dapat bangun dari kemiskinan dan keterbelakangan, bisa jadi akan jadi sia-sia jika tak mendapat support mumpuni dari kerja-kerja intelektual yang menjadi poros penopang terbentuknya tatanan sosial-masyarakat seperti yang dicita-citakan oleh islam, yang juga selaras dengan cita-cita negeri ini untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Dan ini semua telah menjadi tugas kita, para intelektual, tugas kita semua, ummat islam.

*) Ditulis oleh Ubay Nizar Al-Banna

Comments

Popular Posts

Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Refleksi Diri dalam Meneladani Muhammad SAW

Koridor-koridor Toleransi dalam Agama